CATUR
MARGA
EMPAT
JALAN MENUJU TUHAN
I PENDAHULUAN
Berdasarkan
dasar ajaran agama Hindu Panca Sradha, kita mengenal ajaran Moksa yang mempunyai
makna kembalinya roh individu kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Dalam usaha perjalanan
manusia menuju kepada Tuhan, ada empat jalan yang harus ditempuh yaitu Catur Marga.
Catur artinya empat dan Marga artinya jalan. Jadi Catur Marga artinya: empat
jalan yang harus ditempuh dalam usaha manusia menuju kepada Tuhan Sang Maha
Pencipta. Empat jalan tersebut adalah Karma Marga, Bhakti Marga, Jnana Marga,
dan Raja Marga.
Dalam kitab
Bhagavad Gita Bab IV Sloka (11) disebutkan :
ye yatha mam
prapadyante
tams tathai ‘va
bhajamy aham
mama vartma ‘nuvartante
manushyah partha
sarvasah
Jalan manapun
ditempuh manusia kearah-Ku, semuanya Ku-terima, dari mana-mana semua
mereka menuju
jalan-Ku, oh Parta.
Mengartikan
sloka di atas haruslah kita lebih dalam menyimak hakekat apa yang tersirat didalamnya?
Apa pengertian kata jalan mana dari sloka di atas, apakah yang
dimaksudkan itu keyakinan/agama, cara menuju, atau laku yang harus
dilaksanakan? Menurut saya, yang dimaksudkan dengan kata jalan mana adalah
lebih cendrung kepada persoalan keyakinan/agama.
Artinya,
keyakinan apapun atau agama apapun yang dianut seseorang dalam tujuan mencari
Tuhan,
diterima oleh
Nya.
Bhagawad Gita
Bab VII sloka (21), mempertegas makna dari sloka di atas yang berbunyi :
yo-yo yam-yam
tanum bhaktah
sraddhaya ‘rchitum
achchhati
tasya-tasya ‘chalam
sraddham
tam eva
vidadhamy aham
Apapun bentuk
kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan
kepercayaan
mereka sama, supaya tetap teguh dan sejahtera.
Sloka ini,
disamping sifatnya memberi penegasan terhadap sloka di atas, juga mempunyai
makna yang sangat universal yaitu; bahwa Kresna memberitahukan kepada umat
manusia, bahwa di dunia ini akan ada agama lebih dari satu dan Tuhan
mempersilahkan kepada manusia untuk memilih, mana yang akan dijadikan dasar
kayakinannya. Dan oleh setiap agama akan diajarkan bagaimana cara sembahyang,
berdoa, mantra-mantra, pujian-pujian yang menuju kepada Tuhan. Sloka ini juga mengajarkan
kepada kita untuk saling menghormati sesama pemeluk agama, janganlah saling menghina,
saling menyombongkan agama. Karena semua agama bisa ada di dunia adalah karena kehendak
Tuhan dan bukan karena kemauan manusia. Karena apabila ada orang yang menghina atau
melecehkan agama lain, sebenarnya orang tersebut sangat tidak mengerti secara
mendalam tentang keberadaan agamanya sendiri. Maka dari itu sebagai orang yang
memeluk agama Hindu sudah seharusnya mendalami ajaran kitab suci Weda, agar
kita dapat menjelaskan kepada pemeluk agama lain baik melalui media televisi,
radio, koran ataupun melalui langsung dalam acara diskusi, bagaimana sejatinya
ajaran agama Hindu. Jangan sekali-kali memberikan penjelasan yang sifatnya asal-asalan
dan bisa dikejar lagi dengan pertanyaan selanjutnya dan kita akhirnya tidak
bisa memberikan jawaban yang benar dan dapat diterima oleh akal manusia. Bagaimana
hubungan sloka (11) di atas dengan ajaran catur marga, apakah kita cukup
memilih salah satu dari marga tersebut untuk menuju kepada Tuhan? Selanjutnya,
apakah setelah memilih salah satu dari catur marga, manusia tidak perlu lagi
melalukan marga yang lainnya? Jawabnya sederhana saja. Ketika seseorang memilih
salah satu marga dari catur marga dalam perjalanan hidupnya menuju Tuhan,
katakanlah Karma Marga, maka pilihannya ini diterima oleh Tuhan dalam arti ya
tidak disalahkan karena pilihannya tersebut sesuai dengan tingkat kecerdasan
pada saat itu. Mungkin yang lainnya memilih Bhakti Marga, dan yang lain memilih
Jnana Marga atau Raja Marga, hal ini sangat tergantung dari kapasitas
kecerdasannya masing-masing. Pertanyaannya, apakah dengan hanya melaksanakan
Karma Marga seseorang bisa menuju kepada tataran puncak yaitu menyatu dengan
Sang Pencipta (Aham Brahman Asmi)? Apakah dia tidak perlu malaksanakan Bhakti,
Jnana dan Raja Marga ? Menurut saya sangat perlu. Pertama-tama kita melaksanakan
Karma Marga (jalan kerja), selanjutnya melaksanakan Jnana Marga (jalan ilmu pengetahuan).
Dengan memiliki ilmu pengetahuan, maka pelaksanaan Karma Marga menjadi lebih baik.
Dengan ilmu pengetahuan pula, diharapkan pelaksanaan Bhakti Marga (jalan bakti)
dan Raja Marga (jalan semadhi) akan sesuai dengan ajaran Weda yang sejati,
artinya bukan hanya sekedar berdasarkan sastra atau yang tersurat saja.
Jelaslah, bahwa seseorang dalam tujuan hidupnya menuju kepada Tuhan tidaklah
cukup menjalankan hanya salah satu dari Catur Marga. Karena Catur Marga adalah
merupakan tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan dalam kehidupan seharihari, sehingga
akhirnya sampai pada puncak kesadaran yaitu samadhi dimana pikiran manusia sudah
mencapai titik nol (kosong). Tidaklah mungkin seseorang akan dapat mencapai
tingkat samadhi apabila tidak didasari dengan Jnana (pengetahuan) yang benar
tentang tata cara bagaimana melaksanakan semadhi. Bagaimana seseorang bisa
dikatakan benar dalam melaksanakan bhakti kalau tidak didasari oleh pengetahuan
yang benar tentang cara sembahyang sesuai dengan ajaran Weda? Kesimpulannya,
bahwa keempat jalan yang diajarkan oleh kitab suci Weda haruslah dilaksanakan
semuanya dalam kehidupan sehari-hari bagi mereka yang berniat untuk lebih mendekatkan
diri dengan Tuhan, hanya waktu pelaksanaannya yang harus disesuaikan dengan situasi
dan kondisi dari masing-masing orang, karena situasi dan kondisi untuk setiap
orang tidaklah sama.
KARMA MARGA
Ketika seorang
anak baru mulai belajar sembahyang, atau dalam bertingkah laku, dia hanya bisa mengikuti
apa yang diajarkan oleh orang tuanya atau meniru apa yang dilakukan oleh orang
lain. Dia hanya sebatas melaksanakan dan belum mengerti kenapa harus demikian.
Dalam tingkatan ini, tingkat jnana dari guru laku (baik orang tua ataupun orang
lain) sangatlah menentukan kwalitas dari pelaksanaan karma dari anak didiknya.
Seorang guru yang memiliki pengetahuan yang luas dan berpengalaman pada umumnya
akan menghasilkan murid yang berbudi luhur. Artinya, dari awal melangkah dia
sudah mendapatkan tuntunan dalam bekerja yang sudah disesuaikan dengan jnana (ilmu
pengetahuan) walaupun pada saat yang sama dia belum memperoleh pendidikan
tentang jnana. Akan sangat berbeda dengan seseorang yang dari awal perjalanan
hidupnya tanpa adanya bimbingan dari orang tua atau guru, maka dia akan belajar
sendiri dari lingkungan alam sekitarnya. Kalau dia berkumpul dengan kelompok
pencuri, perampok, maka kemungkinan besar dia akan ikut menjadi perampok. Kalau
dia bergaul di lingkungan orang-orang yang senang berjudi, maka kemungkinan
besar dia akan menjadi seorang penjudi. Sebaliknya, kalau dia bergaul dengan
orangorang yang senang sembahyang, membaca kitab suci, maka kemungkinan besar
dia akan menjadi orang berprilaku baik. Maka dari itu, sebagai orang tua
haruslah sanggup memberikan contoh yang baik dalam berbicara, bertingkah laku,
agar dijadikan panutan bagi anak-anak.
Pengertian Karma Marga yaitu : manusia
dalam tujuannya mencari Tuhan melalui jalan bekerja. Banyak manusia belajar
dengan tekun dengan tujuan memperoleh ijazah, gelar yang tinggi, berharap
nantinya mendapat pekerjaan yang bagus dengan kedudukan dan gaji yang tinggi.
Akan tetapi, tidak banyak manusia yang memahami hakekat kerja yang bagaimana
yang diajarkan oleh kitab suci weda yang dapat menuntun dirinya kapada
pencerahan pikiran dan jiwanya. Dalam Bhagavad Gita Bab III yang membahas
tentang KarmaYoga pada sloka (1) Arjuna bertanya kepada Kresna. Dasar
pertanyaan Arjuna adalah karena dia bingung dengan penjelasan Kresna. Disatu
sisi Kresna mengatakan bahwa ilmu pengetahuan lebih mulia dari tindakan, disisi
lain Kresna malah menganjurkan kepada Arjuna untuk melakukan tindakan kejam
yaitu berperang untuk membunuh saudara-saudaranya (Kurawa), gurunya, kakeknya
sendiri. Dalam sloka (2) akhirnya Arjuna minta ketegasan dari Kresna, agar
diberitahukan dengan pasti satu-satunya jalan yang dapat ditempuhnya untuk
mencapai kebahagiaan abadi. Permitaan Arjuna dijawab oleh Kresna di sloka (3),
bahwa sejak dahulu ada dua disiplin dalam hidup ini, jalan ilmu pengetahuan
bagi cendekiawan dan jalan tindakan kerja bagi karyawan. Selanjutnya Kresna
bersabda; orang tidak akan mencapai kebebasan karena diam tidak bekerja, juga
ia tidak akan mencapai kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja. Tetapi,
bagi orang yang sudah dapat mengendalikan pancaindrianya dengan pikiran serta
bekerja dengan
tanpa mementingkan diri sendiri, dialah yang disebut orang yang utama.
Bab II sloka
(47) Bhagavad Gita, mengatakan :
karmany eva
dhikaras te
ma phaleshu
kadachana
ma karma phala
hetur bhur
ma te sango ‘stv
akarmani
Kewajibanmu kini
hanya bertindak, bekerja tiada mengharap hasil, jangan sekali pahala jadi
motifmu, jangan
pula hanya berdiam diri jadi motifmu.
Selanjutnya dalam
sloka (48) dikatakan :
Yogasthah kuru
karmani
Sangam tyaktva
dhanamjaya
Siddhyasiddhyoh
samo bhutva
Samatvam yoga
uchyate
Pusatkan
pikiranmu pada kesucian, bekerjalah tanpa menghirukan pahala, Dananjaya,
tegaklah
pada sukses
maupun kegagalan, sebab, keseimbangan jiwa adalah yoga.
Dipertegas lagi
oleh sloka (49) yang bunyinya :
durena hy avaram
karma
buddhi yogad
dhanamjaya
buddhau saranam
anvichchha
kripanah phala
hetevah
Rendahlah
derajat kalau hanya kerja tanpa disiplin budi, oh Dananjaya. Serahkanlah
dirimu
pada Yang Maha
Tahu, kasihan yang mengharap pahala dari kerja.
Ketiga sloka di
atas mengajarkan kepada kita tentang hakikinya berkerja yang harus dilaksanakan
oleh seseorang yang ingin mencapai alam kebebasan/kelanggengan. Kewajiban kita
hanyalah sebatas bekerja dan bukan untuk menghitung-hitung pahalanya. Janganlah
karana ada pahala baru kita mau bekerja. Kasihan sekali orang yang bekerja
hanya karena mengharapkan pahala. Serahkanlah dirimu kepada Yang Maha Tahu.
Ketika seseorang memahami betul bahwa dia tidaklah lain hanya sekedar wayang
yang selalu dimainkan oleh sang Maha Dalang (Tuhan) yang menciptakannya,
atau dengan kata lain sebagai wayang haruslah tunduk dan mengikuti alur
ceritera yang sudah dibuat oleh sang dalang, maka jawabannya dalam menjalani
hidup yang penuh dengan kepalsuan ini tiada lain adalah menyerah (serahkanlah
dirimu kepada Yang Maha Tahu). Inti sari dari pemahaman dan pelaksanaan
ajaran Weda adalah Iswara Prani Dana yaitu penyerahan diri secara total
semata-mata kepada Sang Maha Pencipta. Awas, jangan salah mengartikan makna
dari kata-kata penyerahan diri. Menyerah bukan berarti pasrah dan berdiam diri
tidak melakukan apa-apa seperti patung tidak bergerak biarpun kehujanan dan
kepanasan. Tindakan seperti ini malah keliru sebab, seandainya semua umat
manusia berlaku seperti patung, wah tidak bisa kita bayangkan dunia akan
seperti apa? Apa pula gunanya Tuhan menciptakan bumi dan langit untuk manusia?
Bukan, bukan berdiam diri seperti itu maksudnya. Pasrah dalam makna yang lebih dalam
adalah menerima (bersyukur) atas segala karunia dari Tuhan Yang Maha Pemurah
dan Maha Adil. Apapun hasil yang kita peroleh sebagai akibat dari kerja yang
kita lakukan sekalipun itu pahit, haruslah kita tetap bersyukur. Untuk menjadi
orang selalu bersyukur atas karunia Tuhan tidaklah mudah, karena gampang
diucapkan tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan.
Weda
mengajarkan, bahwa ada dua jalan yang kita bisa tempuh dalam mengarungi bahtera
kehidupan didunia fana ini yaitu : pertama jalan material atau kebendaan dan
kedua adalah jalan spriritual. Dianjurkan oleh Weda semoga kita memilih
jalan spiritual, karena dengan jalan inilah kita akan terselamatkan baik di
dunia ini maupun di dunia sana (dunia gaib). Karma Marga lebih cendrung
kepada jalan material, seperti : memelihara anak sendiri, menolong orang yang
sedang kesusahan, orang sedang sakit, memelihara anak yatim piatu, orang jompo,
membangun pura dan membuat sesaji, bekerja untuk memperoleh hasil, dan lain
sebagainya. Jalan kerja yang ditempuh seperti tersebut di atas, dapat
dikatagorikan sebagai pelaksanaan dari tapa (belajar ihklas). Sudah menjadi
kodrat manusia yang diciptakan sebagai makhluk social, maka ia tidak akan bisa melepaskan
diri dari manusia lainnya. Kita diajarkan oleh ajaran Weda untuk menjadi
manusia yang suka memberi (beryadnya), kalau tidak demikian kita dikatakan
sebagai manusia yang makan dosa, seperti yang disebutkan dalam Bhagavad Gita
Bab III sloka (13) :
yajna
sishtasinah santo
muchyante sarva
kilbishaih
bhunjate te tv
agham papa
ye pachanty atma
karamat
yang baik makan
setelah upacara bakti, akan terlepas dari segala dosa. Tetapi menyediakan
makanan lezat
hanya bagi diri sendiri, mereka ini sesungguhnya makan dosa.
Apa yang
susungguhnya dimaksudkan dengan manusia makan dosa?. Adalah manusia yang lebih
banyak memiliki
sifat pelit, loba, dan hanya sedikit mempunyai sifat social dan suka beryadnya.
Orang semacam ini, adalah orang yang belum memahami ajaran Tat Twam Asi dan
orang semacam ini masih perlu digembleng di kawah candradimuka. Sangat perlu
untuk dihayati, bahwa saling menolong dan saling memberi antara sesama manusia
dengan ikhlas dan tanpa memandang apa agama atau sukunya, itu lebih mulia
dimata Tuhan. Penomena yang ada, orang cendrung lebih berani dan galak antara
sesama manusia, saling caci maki, iri dengki, saling merendahkan derajat satu
sama lainnya, tetapi dia sangat sangat takut sekali dengan yang namanya jin dan
setan, apalagi kepada dewa dan betara mereka lebih takut lagi, karena semuanya
tidak kasat mata. Mereka lupa, bahwa dilahirkan sebagai manusia yang menurut
Tuhan adalah merupakan mahkluk ciptaannya yang paling sempurna diantara
mahkluk-mahkluk ciptaannya yang lain (jin, setan dan malaikat atau dewa). Maka
dari itu, sadari dan kenalilah diri kita sendiri supaya karma yang kita lakukan
tidak melenceng dari tujuan agama hindu yaitu kembali ke sangkan paraning
dumadi, Tuhan Yang Maha Pencipta.
Nilai dari jalan
kerja (Karma Marga) yang kita laksanakan sangat tergantung pada berapa besar prosentase
dari tingkat keikhlasan kita dalam bekerja, bukan pada besar kecilnya hasil
yang kita peroleh.
JNANA MARGA
Kata jnana
mempunyai makna ilmu pengetahuan. Jnana marga dapat dimaksudkan manusia dalam usahanya
mencari Tuhan melalui jalan belajar tentang hakekat dari Tuhan itu sendiri
(Widhi Tatwa). Siapa, bagaimana sifat-sifatnya, bagaimana dan dimana
mencari-Nya?. Lalu kenapa jnana (ilmu pengetahuan) dikatakan sangat penting
bagi perjalanan manusia mancari Tuhan? Jawabannya, karena diantara yadnya, ilmu
pengetahuan adalah yadnya yang paling utama, seperti yang disebutkan dalam
Bhagavad Gita Bab IV yang membahas tentang Jnana Yoga. Sloka (33) menyebutkan:
srayan
dravyamayad yajnaj
jnanayajnah
paramtapa
sarvam karma ‘khilam
partha
jnane
perisamapyate
Persembahan
berupa ilmu pengetahuan, Parantapa, lebih bermutu daripada persembahan materi; dalam
keseluruhannya semua kerja ini berpusat pada ilmu pengetahuan, oh Parta.
Selanjutnya
dalam bab yang sama sloka (34), (36), (37), (38), (39) dan (40) dikatakan :
Sloka (34)
tad viddhi
pranipatena
pariprasnena
sevaya
upadekshyanti te
jnanam
jnaninas
tattvadarsinah
Belajarlah
dengan sujud disiplin, dengan bertanya dan dengan kerja berbakti; guru budiman
yang melihat kebenaran akan mengajarkan padamu ilmu budi pekerti.
Sloka (36)
api ched asi
papebhyah
sarvebhyah
papakrittamah
sarvam
jnanaplavenai ‘va
vrijinam
samtarishyasi
walau seandainya
engkau paling berdosa diantara manusia yang memikul dosa; dengan perahu
ilmu pengetahuan
ini lautan dosa engkau akan sebrangi.
Sloka (37)
yathai ‘dhamsi
samiddho ‘gnir
bhasmasat kurute
‘rjuna
jnanagnih
sarvakarmani
bhasmasat kurute
tatha
bagaikan api
menyala, membakar kayuapi menjadi abu, oh Arjuna, api ilmu pengetahuan demikian
pula membakar segala karma jadi abu
Sloka (38)
na hi jnanena
sadrisam
pavitram aha
vidyate
tat svayam
yogasamsiddhah
kalena ‘tmani
vindati
Tidak ada
sesuatu dalam dunia ini dapat menyamai kesucian ilmu pengetahuan; mereka yang disempurnakan
dalam yogi menemuinya sendiri dalam jiwanya pada waktunya
Sloka (39)
sraddhavaml
labhate jnanam
tatparah
samyatendriyah
jnanam labdhva
param santim
achirena
dhigachchhati
Ia yang memiliki
kepercayaan dan menguasai pancaindrianya akan mencapai ilmu pengetahuan; setelah
memiliki ilmu pengetahuan dengan segera ia menemui kedamaian abadi.
Sloka (40)
ajnas cha ‘sraddadhanas
cha
samsayatma
vinasyati
na ‘yam loko ‘sti
na paro
na sukham
samsayatmanah
tetapi mereka
yang dungu dan tidak percaya serta bersifat ragu, akan hancur sirna; bagi yang
ragu diri,
baginya tiada bahagia, tidak di dunia ini, pun tidak di dunia sana.
Dari beberapa
sloka di atas jelaslah, bahwa betapa sangat pentingnya ilmu pengetahuan bagi manusia
untuk dijadikan landasan dan kompas yang dapat menopang dan mengarahkan
langkahnya didalam melaksanakan Karma, Bhakti dan Raja Marga sehingga sesuai
dengan hakekat ajaran weda yang merupakan kitab suci bagi umat hindu. Namun
demikian, haruslah kita pertegas ilmu pengetahuan yang bagaimana yang
dimaksudkan oleh sloka-sloka di atas, karena ada dua katagori ilmu pengetahuan
yaitu : pengetahuan tentang duniawi (alam nyata) dan pengetahuan tentang alam gaib
(alam yang tidak nyata). Pengetahuan duniawi seperti imu ekonomi, kedokteran,
tehknik dan sebagainya, hanyalah berguna bagi kita sebatas untuk memenuhi
kebutuhan hidup di dunia yang bersifat jasmaniah. Sedangkan ilmu pengetahuan
yang dimaksudkan oleh sloka-sloka di atas adalah sesuai dengan apa yang
disebutkan dalam Bhagavad Gita Bab X sloka (32) :
……adhyatmavidya
vidyanam ….
diantara segala
ilmu pengetahuan Aku falsafah Atman
Jadi jelaslah
yang dimaksud ilmu pengetahuan oleh sloka dalam Bab IV adalah ilmu pengetahuan tentang
falsafah Atman. Yang dimaksudkan dengan falsafah Atman adalah hakekat dari pada
Tuhan dan bagian-bagian kecil (percikan roh) dari pada Tuhan itu sendiri yang
disembunyikan didalam badan manusia yang merupakan mahkluk ciptaan-Nya. Bagi
mereka yang mendalami ajaran tentang falsafah Atman, ketika mereka sampai pada
tingkatan mengenal Atman, maka mereka dapat dikatakan yang sudah mengenal
dirinya sendiri. Bagi mereka yang sudah mengenal diri sendirilah yang dapat
mengenal Tuhan-nya. Manusia yang sudah sampai pada tingkatan ini, karma yoga, bhakti
yoga, dan raja yoga yang dia lakukan semuanya berdasarkan atas perintah Gusti,
bukan karena nafsu atau ego, sebab sang Kawula sudah menyatu dan tunduk kepada
Gustinya. Inilah kelebihan Jnana Marga (jalan ilmu pengetahuan) dibandingkan
dengan marga-marga lainnya. Dengan dikuasainya ilmu pengetahuan, manusia dapat
bekerja lebih efektip dan efisien, dibandingkan dengan mereka yang dungu dan
sedikit pengetahuannya, baik itu masalah pengetahuan duniawi ataupun
pengetahuan tentang agama, karena ilmu pengetahuan itulah yang akan menuntun
manusia menuju ke jalan yang benar untuk mencapai tujuan akhir. Maka dari itu, kejarlah
ilmu pengetahuan terlebih dahulu sebanyak dan seluas mungkin.
BHAKTI MARGA
Pemahman yang
terdapat dalam Bhakti Marga (jalan bhakti) adalah melakukan sesuatu yang dilandasi
oleh keikhlasan total sebagai perwujudan dari rasa hormat seseorang kepada
sesuatu yang diyakininya untuk patut dihormati. Seperti, bhakti kepada orang
tua, bhakti kepada negara, bhakti kepada guru dan bhakti kepada Yang Maha
Pencipta. Bhakti kepada orang tua patut dilakukan oleh seorang anak, karena
tanpa orang tua, kita tidak akan ada lahir ke dunia. Inilah bhakti kita kepada sang
guru rupaka. Kepada negara, kita juga wajib berbhakti, wajib membela dan
mempertahankan tanah air, karena tanpa adanya negara yang merdeka, kita akan
sulit untuk bisa hidup tenteram dan damai. Bhakti kepada guru pengajian, guru
yang mengajarkan kita ilmu pengetahuan sehingga kita menjadi pintar harus
dilakukan. Karena tanpa adanya rasa hormat kepada sang guru, maka ilmu yang
diberikan kepada kita tidak akan bisa kita serap. Itulah sedikit pemahaman
tentang bhakti dan diantara semua bhakti, yang akan kita bahas lebih jauh
adalah bhakti kita terhadap Tuhan Yang Maha Pencipta. Dalam pelaksanaan bhakti
kita kepada Tuhan, sehari-hari kita malaksanakan apa yang disebut sembahyang.
Pada hari-hari besar agama hindu, masyarakat hindu di Bali malaksanakan upacara
ritual keagamaan dengan membuat dan mempersembahkan beraneka bentuk sesaji,
mempersembahkan aneka tari-tarian, memuja dan menyembah sebagai ungkapan rasa bhakti
mereka kepada Tuhan. Yang masih perlu kita pertanyakan lebih jauh adalah apakah
pelaksanaan sembah dan bhakti dari umat hindu sudah sesuai dengan ajaran Weda?
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah paradigm “menyembah Tuhan melalui dewa,
bethare dan leluhur” sesuai dengan dengan ajaran weda dan masih perlu
dipertahankan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, diperlukan kajian
yang lebih mendalam terhadap sastra-satra weda, sehingga yang tersiratlah yang
dilaksanakan bukan yang tersurat dalam ayat-ayat ataupun sloka suci weda.
Mari kita simak
pertanyaan Arjuna kepada Kresna yang ditulis dalam kitab Bhagavad Gita Bab XII
sloka (1) yang
bunyinya :
Evam satatayukta
ye
Bhaktas tvam
paryupasate
Ye cha ‘py
aksharam avyaktam
Tesham ke
yogavittamah
Jadi, penganut
yang tawakal senantiasa menyembah Engkau, dan yang lain lagi menyembah YangAbstrak,
Yang Kekal abadi. Yang manakah lebih mahir dalam yoga?
Ada keraguan dalam
diri Arjuna tentang cara menyembah Tuhan. Mana yang lebih baik apakah menyembah
Tuhan Yang Maha Abstrak yang jauh tak terbatas atau menyembah Kresna sebagai sang
awatara Wisnu yang dapat dilihat dan diajak berbicara langsung oleh manusia. Pertanyaan
Arjuna tersebut dijawab oleh Kresna dalam sloka (2), (3) dan (4) yang berbunyi
:
Mayy avesya mano
ye mam
Nityayukta
upasate
Sraddhaya parayo
‘petas
Te me yuktatama
matah
Yang menyatukan
pikiran berbakti pada-Ku menyembah Aku, dan tawakal selalu, memiliki kepercayaan
yang sempurna, merekalah Ku-pandang terbaik dalam yoga.
Ye tv aksharam
anirdesyam
Avyaktam
paryupasate
Sarvatragam
achintyam cha
Kutastham
achalam dhruvam
Samniyamye ‘ndriyagraman
Savatra
samabuddhayah
Te prapnuvanti
mam eva
Sarvabhutahite
ratah
Tetapi mereka
yang memuja Yang Kekal Abadi, Yang Tak terumuskan, Yang Tak nyata, Yang Melingkupi
segala, Yang Tak terpikirkan, Yang Tak berubah, Yang Tak bergerak, Yang
Konstan, dengan menahan pancaindria, hawanafsu selalu seimbang dalam segala
situasi, berusaha guna
kesejahteraan
semua insani, mereka juga datang kepada-Ku.
Dalam medalami
makna dari sloka di atas, yang harus dikaji lebih teliti adalah terhadap obyek bhakti
dan sembah, yaitu Tuhan Yang Kekal abadi dan Aku. Aku yang dijadikan tujuan
dari sembah menurut sloka di atas bukan Sang Kresna yang berwujud manusia. Yang
dimaksudkan dengan Aku adalah Wisnu (bagian dari Roh Suci Tuhan) yang berdiam
dalam diri manusia. Banyak ayat-ayat weda dan sloka yang menyatakan bahwa Tuhan
Yang Maha Esa berdiam di dalam diri manusia, Tuhan ada di dalam dan di luar
diri manusia. Oleh karena itu, manusia dalam mencari Tuhan tidaklah perlu
jauh-jauh dan tidak perlu melalui perantara makhluk lain, sebab Tuhan itu sangatlah
dekat dengan kita. Pemahaman dan keyakinan inilah yang sangat penting untuk ditanamkan
kepada diri kita dan generasi umat hindu kedepan, bahwa dalam mencari Tuhan
Yang Maha Agung carilah terlebih dahulu bagian dari Roh Tuhan yang ada di dalam
diri kita. Apabila kita sudah ketemu dengan Roh yang memberi kehidupan kepada
kita, maka kita akan ketemu dengan Tuhan Yang Maha Agung. Kesukaran pada orang
yang pikirannya terpusat pada Yang Tak termanifestasikan jauh lebih besar, dibandingkan
dengan yang memusatkan pikirannya kepada bagian Tuhan yang berdiam di jantung hati
kita.
Sebagai bakta
(orang yang senang berbakti), seharusnya mengerti betul tentang konsep bakti
seperti apa yang dikehendaki sesuai dengan ajaran kitab suci. Apakah dengan
membuat beraneka ragam sesaji, memotong berbagai macam binatang atau dengan
mengasingkan diri ketengah hutan, itukah bakti yang dikehendaki oleh kitab
suci?
Mari kita
renungkan sloka (17), (18) dan (19) yang tercantum dalam kitab Bhagavad Gita
Bab XII
berbunyi sebagai
berikut :
yo na hrishyati
na dveshti
na sochati na
kankshati
subhasubha
parityagi
bhajtiman yah sa
me priyah
samah satrau cha
mitre cha
tatha
manapamanayoh
sitoshna
sukhaduhkheshu
samah
sangavivarjitah
tulyanindastutir
mauni
amtushto yena
kenachit
aniketah
sthiramatir
bhaktiman me
priyo narah
dia yang tiada
bersenang dan membenci, tiada berduka dan bernafsu apa-apa, membebaskan diri dari
kebaikan dan kebatilan, penuh dengan kebaktian, dialah yang Ku kasihi. Dia
yang sama terhadap kawan dan lawan, juga sama dalam kehormatan dan kecemaran,
sama dalam panas dan dingin, suka dan duka, bebas dari belenggu keinginan
semua, Sama terhadap puji dan maki, pendiam, prihatin pada apa adanya, tiada
tempat tinggal, teguh imannya, yang berbakti begini inilah yang Ku kasihi.
Dari yang
tersirat pada sloka-sloka di atas, dapat kita ketahui, bahwa pengertian bakti
ternyata sangatlah dalam sekali yaitu menjadikan manusia pada posisi titik nol.
Manusia yang sudah mencapai tingkatan nol (mati dalam kehidupan dan hidup dalam
kematian), dia akan merasakan antara senang dan duka, kaya dan miskin, bagus
dan jelek, tinggi dan rendah, segumpal tanah dan emas, pintar dan bodoh,
semuanya sama. Dia sudah bisa melepaskan diri dari sifat dualisme. Inilah kebaktian
puncak yang seharusnya dicapai oleh manusia. Namun demikian, untuk mencapai tingkatan
bakti seperti yang dimaksudkan di atas bukanlah persoalan mudah, karena
diperlukan tekad yang sangat kuat dalam mejalankan tapa, brata, yoga dan
semadhi setiap hari. Janganlah konsep tapa, brata, yoga dan semadhi hanya
dijadikan sebagai teori dan disimpan dalam otak sebagai perpustakaan maya,
digembar-gemborkan ke segala penjuru arah, sebagai pemanis dharma wacana, akan
tetapi harus dipraktekan, dilaksanakan, sehingga kita bisa merasakan dan
menemukan sendiri hakiki dari tapa, brata, yoga dan semadhi tersebut. Bukan
berdasarkan kata orang, kata penceramah atau kata pedande, akan tetapi karena
menemukan langsung didalam diri sendiri.
Bagaimana dengan
pelaksanaan bakti dari umat hindu yang lebih menonjolkan symbol-simbol keagamaan,
aneka ragam sesaji seolah-olah para gaib (bethare dan dewa) perutnya sama besarnya
dengan manusia, memotong hewan korban (caru) karena rasa takut terhadap para
bhuta kala? Apakah itu bisa dikatakan salah? atau tidak sesuai dengan ajaran
kitab suci? Lalu siapa yang berani mengatakan bahwa hal itu salah atau benar?
Menjelaskan hal tersebut di atas, orang haruslah bisa seperti lautan yaitu
mempunyai wawasan yang sangat luas dan mendalam secara hakiki (jembar nalar
jero dalem).
Pelaksanaan
bakti yang ada sekarang, dimana orang hindu (umumnya di Bali) cendrung memilih jalan
material yang lebih ditonjolkan, tidaklah salah bagi mereka yang tingkatan
jnananya baru pada tingkatan agama (sabda) pramana. Artinya, pelaksanaan bakti
mereka baru pada tingkat pemahaman sebatas apa yang tersurat dalam kitab suci
terutama lontar-lontar purana yang ada atau sebatas apa yang sudah diterima
dari para guru, atau leluhur mereka. Apabila ada orang lain yang mengatakan hal
tersebut salah, mereka pasti akan membantah dengan perasaan murka. Mereka yang
dalam tingkatan ini, menjalankan bakti dan sembahyang masih pada tingkat
sembahyang raga. Lain lagi bagi mereka yang sudah melaksanakan anumana
pramana (analisa, pencarian lebih dalam tentang sesuatu), mungkin jawabannya
akan lain. Mereka ini sudah berada pada tingkat bakti dan sembahyang rasa dan
sudah mendekati pada tingkat sembahyang cipta. Bagi mereka yang sudah sampai
pada tingkatan pratyaksa pramana, juga jawabannya akan sangat berbeda dan
bahkan kontradiktif (berlawanan) dengan fakta yang ada, karena mereka sudah
menyaksikan langsung kenyataan yang ada di alam gaib. Mereka yang sudah sampai
pada tingkatan ini, bakti dan cara sembahyangnya sudah sampai pada tingkatan
cipta dan sukma. Mereka menyaksikan bagaimana cara bethare dan bhuta kala
makan sesaji, apa sebenarnya kesukaan dari para gaib. Mereka sudah bisa
berkomunikasi langsung dengan gaib dengan memakai bahasa bathin (bahasa
rahasia).
Pertanyaan yang
patut kita jawab, tidakkah ada niat dari kita untuk meningkatkan derajat kita sebagai
manusia di mata Tuhan sehingga Roh kita bisa kembali kepada-Nya? Bagi yang
menjawab “ada niat”, saya sarankan janganlah menyembah kepada dewa, bethare dan
para leluhur, apalagi kepada bhuta kala. Menyembahlah hanya kepada Yang Maha
Absolut yang menciptakan kita dan berada di dalam diri kita. Jangan menyembah
selain Dia. Kepada para dewa, bethare, leluhur kita cukup hanya sebatas saling
menghormati sesama makhluk ciptaan Tuhan (TatTwam Asi). Inilah amanat suci dari
kitab weda, apabila kita ingin dekat dengan Tuhan yang menciptakan kita.
Konsep pemahaman
menyembah Tuhan melalui dewa, bethare dan leluhur harus dihilangkan dengan
alasan bahwa : pertama Tuhan ada di dalam diri kita dan kedua dewa, bethare dan
leluhur
belum sampai
pada tingkatan mengenal Tuhan yang sebenarnya, atau belum sempurna yang sejati.
Sebaliknya, malahan kita yang harus mendoakan para bethare, leluhur, yang
dulunya adalah manusia dan masih membawa dosa ketika pulang ke alam kehidupan,
agar segala dosanya
diampuni dan
dianugrahkan kesempurnaan kepada mereka. Bagi saudara-saudara saya yang dalam proses
mencari jati diri yang sejati, saran saya ini akan merupakan bahan renungan
yang dalam ketika sedang berjalan mencari Yang Maha Rahasia. Akan tetapi, bagi
saudara-saudara saya yang masih terkungkung dalam pola pikir sabda pramana,
begitu kata lontar, begitu kata orang, anak sube keto dapet uling pidan (sudah
begitu diwariskan dari dulu), saran saya ini akan dianggap racun yang akan
merusak tatanan yang sudah ada sejak dulu. Hal demikian itu sangatlah wajar, karena
sangat tidak mudah untuk merubah kebiasaan seseorang apalagi sesuatu yang
menyangkut keyakinan dan kita semua haruslah sepakat, bahwa dalam hubungan manusia
dengan Tuhan yang menciptakannya (vertikal) adalah sangat individu, orang lain
tidak bisa ikut campur. Namun demikian, sebagai manusia kita juga tidak baik
terlalu egois hanya mementingkan hubungan vertikal saja, akan tetapi jauh lebih
penting apabila kita bisa memelihara hubungan yang harmonis berdasarkan kasih
diantara sesama manusia. Masyarakat di Bali sangat mencintai ajaran kasih yaitu
Tat Twam Asi yang diwujudkan dengan menghaturkan sesaji kepada para bhetare dan
bhuta kala. Akan tetapi, dalam mengimplementasikan ajaran kasih terhadap sesama
manusia sangat berbeda dibandingkan terhadap para bhetare dan bhuta kala.
Sesama manusia masih banyak yang saling iri hati, saling menghina, saling
menjelekan, berebut warisan dan sebagainya, merupakan suatu fenomena tentang
masih dangkalnya pengetahuan agama yang dimilikinya karena terselimuti rasa ego,
sifat merasa bisa, loba, sirik, nafsu dan marah. Dalam perjalanan mencari jati
diri yang sejati, hal-hal seperti di atas harus direnungkan secara mendalam. Pusatkanlah
sembah dan bhaktimu hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa kalau kamu ingin bertemu
Tuhan, tanpa perlu perantara siapapun.
Dalam Bab XII
sloka (20) kitab Bhagavad Gita ditegaskan :
ye tu
dharmyamritam idam
yathoktam
paryupasate
sradhadhana
matparama
bhaktas te ’tiva
me priyah
Tetapi mereka
yang dengan kepercayaan mengikuti ajaran dharma yang kekal abadi seperti tersebut
tadi, dan menjadikan Aku sebagai tujuan mereka tertinggi, penganut yang
begini inilah yang paling Ku-kasihi.
Dalam Rgveda
X.121.8, dikatakan :
Yasvidapo mahima
paryapasyad
Diksam dadhana
ganayantir yajnam,
Yo devesvadhi
deva eka asit
Kasmai devaya
havisa vidhema.
Dewata yang
manakah yang kita puja dengan persembahan ini? Dewata yang dalam kemuliaan-Nya
melihat air, memberikan kekuatan spiritual dan mendorongkita agar melakukan
pemujaan,
Tuhan Yang Maha
Esa di atas para dewata.
Kalau kita
meyakini, bahwa tujuan utama dari ajaran Weda yang merupakan kitab suci bagi
umat
Hindu yaitu Aham
Brahman Asmi, menyatunya roh yang ada di dalam diri kita kepada Roh Yang Agung
(Parama Atman), maka ketika kita melakukan sembah, peikiran dan ucapan kita
haruslah tertuju langsung kepada Tuhan, tidak lagi melalui perantara siapapun.
RAJA MARGA
Jalan Mistik
(Raja Marga) merupakan lelakon yang sifatnya mencari kebenaran lebih jauh
tentangkeberadaan Tuhan Yang Maha Rahasia dan berusaha dengan ilmu pengetahuan
(Jnana) yang dimiliki untuk menguak tabir misteri dari Sang Maha Misteri. Dalam
Karma dan Bhakti Marga, kegiatannya masih lebih banyak memakai jasmani, maka
dalam Raja Marga yang bekerja lebih banyak hati dan pikiran. Melaksanakan
upacara, beryadnya, dharma yatra dan sebagainya, adalah merupakan ruang lingkup
dari jalan kerja (Karma) dan jalan Bhakti yang merupakan perwujudan dari
sedikit Jnana yang dikuasai. Ketika manusia memperdalam ilmu pengetahuannya
tentang hakekat ketuhanan, hakekat kehidupan, berpikir jauh tentang keberadaan
alam kelanggengan yaitu alam kehidupan setelah kematian yang serba tidak kasat
mata (gaib), maka yang banyak berperan adalah hati dan pikiran. Pikiran
sangatlah berperan dalam menentukan arah dari perjalanan kehidupan manusia dan
pikiran sangatlah sulit untuk dikendalikan.
Kitab
Saracamuscaya Sloka 80 mengatakan :
Apan ikang manah
ngaranya,
ya ika witning
indriya,
maprawati ta ya
ring cubhacubhakarma,
matangnyan ikang
manah juga prihen kahrtanya sakareng.
Terjemahannya : Sebab
yang disebut pikiran itu, adalah sumbernya nafsu, ialah yang menggerakkan
perbuatan yang baik ataupun yang buruk; oleh karena itu, pikiranlah yang segera
patut diusahakan pengekangannya/pengendaliannya.
Dalam kehidupan
sehari-hari, pikiran akan selalu dipengaruhi oleh nafsu yaitu nafsu untuk
berbuat baik (satwam), nafsu marah (amarah), nafsu birahi (kama), nafsu loba
(lobha) dan nafsu iri hati(matsarya). Kelima nafsu ini, akan selalu menimbulkan
dualisme (rwa bineda) dalam kehidupan manusia.
Dalam Bhagawad
Gita Bab VII Sloka (27) dikatakan :
ichchhadvesha
samutthena
dvandvamohena
bharata
sarvabhutani
sammoham
sarge yanti
paramtapa
Artinya : semua
mahkluk sejak lahir, oh Barata telah disesatkan oleh dualisme pertentangan yang
lahir dari
hawanafsu (birahi), ketamakan, amarah dan dengaki, wahai Parantapa. Sloka ini mengandung
makna yang sangat dalam apabila dilengkapi lagi dengan nafsu berbuat baik.
Karena di dalam diri setiap manusia apapun agamanya, apapun warna kulitnya,
apapun suku bangsanya, kelima sifat ini sudah ada sejak lahir. Dalam perjalanan
hidupnya kedepan, masing-masing orang akan tampak jelas sifat mana yang lebih
dominan dalam kesehariannya. Musuh manusia yang paling utama adalah nafsu itu
sendiri yang memang sudah disatukan oleh sang Maha Pencipta di dalam diri
manusia. Maka dari itu, mengalahkan diri sendiri tidak lain adalah menekan
hawanafsu sampai mati, setelah itu barulah dihidupkan, akan tetapi hawanafsu
tersebut sudah dalam kendali intelek manusia.
Dalam Bab III
Sloka (38) kitab Bhagawad Gita dikatakan :
dhumena ’vriyate
vahnir
yatha ’darso
malena cha
yatho ‘lbena ‘vrito
garbhas
tatha tene ‘dam
avritam
Artinya:
bagaikan api diselubungi asap, bagaikan cermin diliputi debu, bagaikan bayi
dibungkus
dalam kandungan,
demikian pula Dia diselimuti olehnya (nafsu).
Perumpamaan di
atas menjelaskan kepada kita, bahwa bila ingin melihat api, maka asap haruslah dihilangkan,
bila ingin melihat cermin, maka debu haruslah disapu bersih, bila ingin melihat
bayi, maka kandungannya harus pecah (lahir) dan apabila ingin melihat Dia
(Atman) maka segala nafsu haruslah dilenyapkan. Hawa nafsu dapat menyebabkan
seseorang yang sudah memiliki ilmu pengetahuan, arif bijaksana menjadi gelap
dalam bertindak manakala mereka lengah terhadap pertehanan dirinya yaitu eling
lan waspodo (selalu ingat kepada Tuhan dan waspada terhadap godaan setan).
Memang, untuk mengalahkan hawanafsu bukanlah persoalan mudah bagi manusia yang
hidup di dalam dunia yang penuh dengan kenikmatan akan tetapi semuanya semu.
Selanjutnya Bab
III sloka (41) mengatakan :
tasmat tvam
indriyany adau
niyamya
bharatarshabha
papmanam prajahi
hy enam
jnana vijnana
nasanam
Artinya : dari
itu, oh Barata yang terbaik, kendalikanlah pancaidriamu pertama dan basmilah
nafsu yang penuh dosa, perusak segala ilmu pengetahuan dan kebajikan.
Jadi tugas kita
yang pertama adalah mengendalikan pancaindria. Yang dimaksud adalah mengendalikan
pikiran dari nafsu berbuat baik akan tetapi tidak ihklas (masih mengharapkan pahala),
mengendalikan telinga (niatnya supaya tidak mudah tersinggung dan marah), mengendalikan
mulut (niatnya supaya tidak menjadi orang yang mendewakan sifat loba), mengendalikan
mata (niatnya supaya tidak menjadi orang yang mengumbar nafsu birahi), mengendalikan
hidung (niatnya supaya tidak menjadi orang yang sirik kepaada orang lain).
Setelah pancaindria terkendali dan pikiran sudah terbebas dari pengaruhnya,
maka secara otomatis pengaruh nafsu juga akan musnah dan terkendali. Untuk
mencapai keadaan seperti ini, maka kita harus sering melakukan introspeksi
kedalam diri, sering melakukan perenungan atau mengheningkan pikiran dan hati,
sehingga antara pikiran dan hati selalu terjadi dialog tentang kebenaran yang
hakiki yaitu Tuhan Yang Mahabenar. Hal ini dijelaskan dalam Bab VI Kitab Bhagawad
Gita yang mengajarkan tentang Dhyana Yoga.
Dalam sloka
(11), (12), (13), dan (14) disebutkan :
suchau dese
pratishthapya
sthiram asanam
atmanah
na ’tyuchchhritam
na ’tinicham
chaila jina
kusottaram
tatrai ’kagram
manah kritva
yata
chittendriya kriyah
upavisya ‘sane
yunjyad
yogam atma
visuddhaye
samam
kayasirogrivam
dharayann
achalam sthirah
samprekshya
nasikagram svam
disas cha ‘navalokayan
prasantatma
vigatabhir
brahmacharivrate
sthitah
manah samyamya
machchitto
yukta asita
matparah
Artinya : dengan
teguh duduk di tempat yang bersih, tidak tinggi dan juga tidak rendah,
ditumbuhi oleh rumput suci kosa, di atasnya kulit rusa dan kain silih
bertindih. Disana, dengan menyatupasukan hatinya, mengendalikan pikiran dan
gerak pancaindria, ia bersila di atas tempat duduknya, melaksanakan yoga,
menyucikan jiwa. Dengan badan, kepala dan leher tegak, duduk diam tiada
bergerak-gerak, tetap memandang ke ujung hidungnya, dan tanpa menoleh-noleh
sekitarnya.Dengan tenteram damai tiada gentar, teguh sebagai cantrik,
menaklukkan hatinya dengan harmonis memikirkan Aku belaka, biarlah ia duduk,
Aku jadi tujuannya.
Demikianlah
Bhagawad Gita mengajarkan kita tentang konsep dasar dalam melakukan perenungan atau
lebih dikenal dengan semadhi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan
semadhi antara lain : pertama tempat yang nyaman, kalau di luar sebaiknya yang
ada rumputnya dan diatasnya diletakkan suatu alas duduk yang empuk dan tidak
tembus air, supaya duduknya nyaman, kalau di dalam kamar suci, sebaiknya pakai
alas karpet dan bantalan dari busa yang empuk. Kedua, suhu udara tidak panas
atau terlalu dingin. Ketiga, posisi badan ketika semadhi tegak kokoh, mata setengah
memejam memandang ke ujung hidung dengan muka tetap menghadap kedepan. Keempat,
pikiran harus dikendalikan dengan selalu memikirkan Tuhan yang ada di dalam
diri kita. Dengan pikiran kita melakukan dharma yatra ke tempat yang paling
rahasia yang ada di dalam diri kita yaitu singgasananya Sang Saksi Agung atau
Roh yang menghidupi kita. Ditegaskan dalam Bab VI sloka (20), (21) berbunyi :
yatro ‘paramate
chittam
niruddham
yogasevaya
yatra chai ‘va ‘tmana
‘tmanam
pasyam atmani
tushyati
sukham
atyantikam yat tad
buddhigrahyam
atindriyam
vetti yatra na
chai ‘va ‘yam
sthitas chalati
tattvatah
disana dimana
pikiran telah tenteram terkendalikan oleh konsentrasi yoga, menyaksikan Jiwa dengan
jiwa, dan jiwa merasa dalam bahagia. Dimana dijumpai kebahagiaan terrtinggi
dengan intelek di luar kemampuan pancaidria, disana ia mencapai tujuan dan
tiada lagi jatuh dari kebenaran.
Dalam sloka di
atas, merupakan gambaran dari seseorang yang telah berhasil mencapai tingkatan seorang
yogi, dimana dia sudah mempertemukan antara jiwa pribadinya (kawula) dengan
Jiwa yang agung (Gusti) atau dengan kata lain manunggaling kawula lan Gusti.
Orang yang sudah mencapai tingkat kesadaran seperti ini, sudah terbebas dari
hukum reinkarnasi, kecuali Tuhan menghendaki dia harus turun lagi kedunia
dengan membawa misi tertentu.
Dalam Bab VIII
sloka (10), (12) dan (13) kitab Bhagawad Gita dikatakan :
prayanakale
manasa ‘chalena
bhaktya yukto
yogabalena chai ‘va
bhruvor madhye
pranam avesya samyak
sa tam param
purusham upaiti divyam
sarvadvarani
samyamya
mano hridi
nirudhya cha
murdhny adhaya ‘tmanah
pranam
asthito
yogadharanam
aum ity
ekaksharambrahma
vyaharan mam
anusmaram
yah prayati
tyajan deham
sa yati paranam
gatim
Dengan
bermeditasi pada saat ajal tiba, pikiran tenang, tetap berbakti dengan kekuatan
yoga dan nafas hidup tepat ada diantara kedua kening, ia mencapai Dia Yang Maha
Suci. Semua pintu gerbang dikuasai, pikiran dibatasi oleh hati, nafas hidup di
kepala, tegak dalam konsentrasi yoga. Dia yang mengucapkan aksara tunggal AUM
yaitu Brahman, dan mengenangkan Aku sewaktu ajal telah memanggil kembali
meninggalkan jasmani, pergi ke tujuan tertinggi.
Oleh karena Raja
Marga atau jalan mistik lebih banyak mempergunakan sarana pikiran dan hati dalam
tujuan berkomunikasi dengan alam gaib yang sifatnya halus, maka mereka yang menempuh
jalan ini haruslah senantiasa berusaha membersihkan pikiran dan hati dengan
sesering mungkin melakukan japa, melepaskan keterikatan nafsu terhadap duniawi
yang semu dan cendrung menjebak serta membebani pikiran manusia untuk kembali
ke sangkan paraning dumadi. Dunia gaib adalah dunia halus, semakin keatas
semakin halus. Dengan tekad yang kuat, teguh iman dalam menghadapi godaan dan
cobaan dengan mengunci pikiran agar setiap saat menuju kepada Tuhan, sehingga
ketika kita berbicara dan bekerja, semata-mata hanya karena Dia. Semua nafsu
pribadi(ego) dilenyapkan, bebaskan pikiran dari dualisme baik dan tidak baik,
benar dan tidak benar, kaya dan miskin, panas dan dingin, berdiri tegak dalam
kebijaksanaan Tuhan, serahkan semuanya kepada Yang Maha Pencipta (Iswara prani
dhana), maka atas restu-Nya, tujuan tertinggi Aham Brahman Asmi akan dapat
tercapai. Orang dapat mencapai tingkatan ini adalah betul-betul merupakan
manusia pilihan dari sekian banyak manusia yang sudah mencapai kesempurnaan Diibaratkan,
seperti tepung yang sudah halus, masih diayak lagi sehingga keluar yang
terhalus. Disini, faktor kehendak yang sangat menentukan, siapa-siapa yang dipilih
diantara mereka yang sudah mencapai tingkatan yang sempurna dalam kehidupan.
Bab VII sloka
(3) kitab Bhagawad Gita menyebutkan :
manushyanam
sahasreshu
kaschid yatai
siddhaye
yatatam api
siddhanam
kaschin mam
vetti tattvatah
Diantara
beribu-ribu manusia, hampir tak seorang mengejar kesempurnaan, dan diantara
mereka yang berhasil, hampir tak seorang mengenal Aku dalam kebenaran.
Selanjutnya Bab
VI sloka (47) mengatakan :
yoginam api
sarvesham
madgatena ’ntaratmana
sraddhavan
bhajate yo mam
sa me yuktatamo
matah
Dan juga
diantara semua yogi, dengan penuh kepercayaan menyembah Aku, dengan inti
jiwa bersatu pada-Ku, ia adalah yogi terbaik bagi-Ku.
Dari sloka-sloka
di atas, makna yang terkandung adalah, betapa sulitnya perjalanan manusia dalam
usahanya ketemu dengan yang menciptakan dia, yaitu Yang Maha Rahasia dan Maha
Misteri, walaupun sudah diturunkan kitab-kitab suci yang dapat dijadikan
sebagai penuntun mereka. Yang Maha Misteri tetap misteri bagi ciptaan-Nya. Sebagai
manusia, wajib berusaha untuk bisa merobah kodrat Tuhan, karena Tuhan tidak
akan merubah keadaan seseorang tanpa ada usaha yang keras dari yang
bersangkutan.
PENUTUP
Catur Marga
(empat jalan) yang harus dilaksanakan manusia dalam usahanya untuk mencapai tingkat
kesadaran tertinggi yaitu kembali kepada Yang Maha Pencipta, merupakan satu
kesatuan yang satu sama lainnya sangat berkaitan, sehingga keempat karma
tersebut harus dipahami dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
Jnana (ilmu pengetahuan) tentang hokum ketuhanan yang ada dalam kitab suci
sebagai dasar untuk meluruskan pelaksanaan marga-marga lainnya.
Akan terdapat
perbedaan yang kelihatannya kontradiktip dalam pelaksanaan sembahyang antara mereka
yang masih dalam tahap menjalankan karma dan bhakti marga dengan mereka yang
sudah dalam tahapan menjalankan raja marga. Sembahyang raga dan sembahyang rasa
adalah bagi mereka yang masih dalam tingkatan karma dan bhakti marga. Sedangkan
bagi mereka yang sudah dalam tahapan melaksanakan raja marga, cara
sembahyangnya sudah pada tingkatan sembahyang cipta dan sukma. Mereka sudah
bisa sembahyang dalam keadaan sedang bekerja, berjalan, duduk santai dengan
pakaian yang sederhana, sambil ngobrol dan mereka cendrung terlihat aneh dimata
kebanyakan orang. Dan yang paling penting, perbedaan itu tidak perlu
diperdebatkan atau dipermasalahkan, karena hal ini sangat tergantung dari
tingkat pemahaman (jnana) masing-masing orang. Akan tetapi satu kunci yang
paling penting untuk dipahamidan dijalankankan, bahwa yang kita sembah adalah
hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Absolut, tidak ada yang lain dan tidak melalui
perantara siapapun baim itu dewa, bethare ataupun leluhur. Masing-masing
individu bertanggung jawab mutlak kepada Tuhan atas karma yang dia laksasanakan
di dunia, tidak ada orang lain yang bisa mewakili.
Sebagai penutup
dari tulisan ini, para pembaca yang memiliki pengetahuan dan pengalaman lebih luas
dibidang agama dan spiritual agar berkenan melengkapi tulisan ini yang masih
jauh dari sempurna, sehingga akan lebih berguna bagi pembaca lainnya. Akhirnya
kepada Tuhan Yang Maha Sempurna dan Maha Mengetahui jualah kita bersujud,
karena semua kata-kata dan kalimat di atas adalah atas restu-Nya.
OM TAT SAT EKAM EWA ADWITYAM BRAHMAN
OM SHANTI SHANTI SHANTI OM
Depok, Nopember 2005
Gelsana
Sy tdk setuju dengan penafsiran sesat anda tentang "Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku, semuanya Ku-terima, dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku, oh Parta". Anda plesetkan bahwa jalan manapun anda artikan agama. Itu jeloas konteksnya adalah catur marga berarti jalan yg ditawarkan dlm catur marga itu maksudkan.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusIkut share karena munculnya Weda-Bhagawad Gita masih menggunaken perkiraan sebelum masehi malah 3000 tahun angka yang sulit diterima malah ratusan ribu tahun yang lalu seperti sanget Abstrak seperti penjelasan diatas Manusia memilih menyembah Tuhan Abstrak atau Nyata, bisa jadi JALAN APAPUN yang dipilih mestinya sesuai WEDA-Bhagawad Gita kecuali sudah ade AGAMA lain sebelum WEDA tapi sulit Agama lain pastinya muncul belakangan setelah Weda-Bhgawad Gita kecuali klaim mengada2 ade Agama sudah ade sebelum WEda-Bhagawad Gita
BalasHapusJalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku, semuanya Ku-terima, dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku, oh Parta, saya setuju dengan apa yang disampaikan penulis diatas, kerena weda bhagawad gita berlaku sepanjang jaman bahkan dijaman kali yuga saat ini, dan dari penjelasan diatas menyatakan bahwa hindu tidak mengenal paham fanatisme, hanya tuhan yang menjadi tujuan dari hidup ini.
BalasHapusBerikan saya akun free fire paling oul
BalasHapus